Bagaimana Merancang Sebuah Penelitian ? (Proposal Penelitian, Karya Tulis Ilmiah, Skripsi)

Hai Goodpeople, bahasan kali ini cukup panjang, mengenai Bagaimana Merancang Sebuah Penelitian ? (Proposal Penelitian, Karya Tulis Ilmiah, Skripsi).

Membuat proposal penelitian berbeda dengan membuat rancangan penelitian (research design). Proposal hanya memuat pokok-pokok pikiran., Research design sudah memuat seluruh elemen-elemen pokok yang harus ada dalam rancangan penelitian yang diuraikan secara detail. Dengan demikian research design merupakan cetak biru (blue print), yang jika dibaca oleh siapapun, sudah dapat dimengerti apa yang akan diteliti dan bagaimana cara penelitian dilakukan.

Ada beberapa elemen yang harus tercantum (harus ada) dalam research design. Hal ini memang hampir sama dengan format yang biasanya ada dalam proposal penelitian, antara lain:
1. Judul
2. Latar belakang  Masalah.
3. Rumusan Masalah
4. Tujuan Penelitian
5. Kegunaan Penelitian
6. Kerangka berfikir dan atau prosedur penelitian
7. Hipotesa
8. Tinjauan Pustaka/ Kerangka Teori
9. Pengumpulan Data yang meliputi;
Masalah Sampel
Masalah Instrument
Pemilihan lokasi dan sebagainya
10. Analisa Data

Di bawah ini akan diuraikan secara singkat masing-masing elemen di atas, mudah-mudahan ada manfaatnya. Deskripsi ini diambil dari penjelasan Prof. Dr. Anas Saidi (LIPI Jakarta).

Masalah Judul Penelitian

Pada prinsipnya judul penelitian harus jelas, ringkas dan mencerminkan masalah apa yang akan diteliti. Dalam membuat judul penelitian hendaknya jangan terlalu luas cakupannya atau terlalu sempit. Jika penelitian yang dilakukan bentuknya survai (kuantitatif), maka dalam judul harus jelas penempatan posisi variabel baik independent variable maupun dependent variablenya.

Demikian juga dalam penelitian kualitatif. Judul penelitian jangan bersifat simbolik, terlalu abstrak atau mungkin puitis. Misalnya judul “Golok dan Tasbih”, meskipun maksudnya adalah relasi sosial antara Kyai dan Jawara, tetapi judul semacam ini, di samping terlalu simplistik juga terlalu luas.

Lebih dari itu judul tersebut, tidak jelas variabelnya. Judul yang baik, jika penelitian itu kuantitatif, memperlihatkan korelasi antara variable secara jelas, juga, mencerminkan arah penelitian yang akan dilakukan. Misalnya, “Pengaruh pendidikan orangtua dan tingkat pendapatan keluarga terhadap kenakalan remaja: Studi kasus pada Lembaga Pemasyarakat Anak Negara di Kabupaten Ponorogo”.
Pada judul di atas, yang menjadi independent variable adalah pendidikan dan tingkat pendapatan orang tua, sedangkan dependent variablenya adalah kenakalan remaja. Meskipun judul semacam ini, juga kurang terlalu problematik, tetapi, paling tidak telah memperlihatkan kejelasan posisi antar variable, di samping cukup mencerminkan masalah yang akan diteliti.

Demikian juga judul penelitian jangan terlalu sempit. Misalnya, “Pengaruh Profesionalisme Guru terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas Satu Madrasah Aliyah Negeri di Kota Cirebon”. Judul semacam ini terlalu sempit cakupannya, juga tidak problematik sebagai bahan penelitian. Tanpa penelitian pun sudah diketahui bahwa profesionalisme guru memiliki pengaruh terhadap hasil belajar siswa. Jadi, dalam pembuatan judul, di luar harus diperhatikan scopenya, yang lebih penting adalah apakah judul telah mencerminkan masalah yang membutuhkan penelitian.

Latar Belakang Masalah 

Meskipun tidak ada rumusan baku bagaimana menyusun latar belakang  penelitian, namun isi pokok dari latar belakang  adalah membangun argumen: mengapa penelitian itu penting untuk dilakukan. Tentu saja arti “penting” di sini bukan menurut pengertian peneliti yang subyektif, tetapi harus dilihat dari kepentingan yang lebih luas dan obyektif. Misalnya, dari segi akademik mungkin akan melahirkan teori baru dan/atau membatalkan teori lama. Sedangkan dari kepentingan yang lebih pragmatik akan dapat memecahkan masalah tertentu, misalnya masalah yang sedang dihadapi masyarakat. Dengan demikian masalah penelitian bukan hanya bermula dari sensitifitas peneliti terhadap fenomena sosial yang ada, tetapi, adanya kesenjangan fakta sosial yang ingin diketahui atau dipecahkan. Yang jelas masalah penelitian bukan semata-mata didasarkan interest peneliti yang subyektif.

Dalam membangun argumen mengapa penelitian itu perlu dilakukan dapat saja terinspirasi oleh hasil penelitian orang lain, data-data statistik, hasil bacaan jurnal penelitian, studi pustaka, pengamatan yang menceritakan terjadinya kesenjangan antara yang “seharusnya” (das sollen) dengan fakta-fakta sosial “yang ada” (das sein). Yang terpenting, latar belakang  hendaknya berisi argumentasi mengapa penelitian itu perlu dilakukan.

Perlu menjadi perhatian peneliti, yang harus dihindari dalam menyusun latar belakang  adalah membangun alasan-alasan yang tidak konsisten atau tidak relevan. Misalnya, kita akan meneliti tentang ’pengaruh alat-alat berfikir terhadap peningkatan keterampilan berfikir kritis dan kreatif siswa’. Namun yang dikemukakan dalam membangun alasan justru program-program pengembangan kurikulum di sekolah terhadap peningkatan hasil belajar siswa. Meskipun alasan itu seprtinya relevan, tetapi terlalu jauh apabila yang dibicarakan origram-program yang termasuk pengembangan kurikulum. Memang semua kegiatan yang termasuk pengembangan kurikulum akan meningkatkan durasi kegiatan siswa. Kegiatan itu juga tentu bahkan mungkin juga akan meningkatkan kemampuan berfikir dan kreatifitas siswa. Tetapi, dalam konteks ini peneliti akan melakukan penelitian fokus pada alat-alat berfkir. Jadi tidak ’ngelantur’ ke mana-mana terlalu jauh, walaupun sepertinya dapat disambung-sambungkan dengan persoalan kajian itu. Barangkali akan lebih baik apabila yang dibahas teori-teori berfikir, macam-macam berfikir, cara kerja otak (mind) secara fisiologi maupun psikologi, perkembangan pemikiran pada siswa atau mungkin mencari hasil-hasil kajian tentang berfikir yang relevan. Singkatnya, peneliti akan melakukan kajian secara khusus meningkatkan keterampilan berfikir kritis dan keterampilan berfikir kreatif melalui alat-alat berfikir.

Contoh lain, peneliti akan melakukan penelitian tentang ’kerugian orang merokok baik ditinjau dari segi kesehatan (tingginya angka penyakit kanker paru-paru) maupun kerugian ekonomi (biaya yang harus dikeluarkan setiap harinya). Namun yang dikemukakan dalam membangun alasan itu, justru tentang durasi iklan rokok di TV atau data-data statistik tentang kontribusi pembayaran pajak pabrik rokok terhadap PAD. Meskipun argumen itu kelihatannya berkaitan dengan masalah yang akan kita teliti, tetapi jelas tidak relevan dengan masalah yang akan kita teliti. Karena argumen yang kita bangun justru lebih berkaitan dengan keuntungan merokok. Misalnya laba station TV akibat iklan dan pembayaran pajak yang diterima negara dan bukan tentang kerugiannya seperti jumlah kematian perokok akibat kanker paru-paru tiap tahunnya atau jumlah uang yang harus dikeluarkan, jika seseorang menghisap dua bungkus Ji Sam soe, misalnya. Jadi, di sini diluar dibutuhkan cara meyakinkan tentang arti pentingnya mengapa penelitian itu menarik untuk dilakukan, juga, perlu adanya konsistensi terhadap fokus yang akan diteliti untuk menghindari uraian yang melebar kemana-mana.

Hal lain yang seringkali ditemui dalam latar belakang adalah memuat hal-hal yang tidak relevan dan bersifat normatif. Misalnya, akan meneliti masalah konflik etnis di Kalimantan Barat, yang dimuat dalam latar belakang  UUD 1945 dengan pasal-pasalnya, atau ayat-ayat al-Qur’an. Sedangkan persoalan yang berkaitan dengan masalah konflik sosial dan kebutuhan untuk memecahkannya justru tidak digambarkan.

Masalah lain yang secara teknis biasanya disampaikan dalam latar belakang adalah apakah penelitian yang akan dilakukan dimungkinkan untuk dilaksanakan: baik dari segi dana, waktu, tenaga dan sebagainya. Bisa saja problem penelitian yang dikemukakan sangat menarik tetapi dari segi waktu dan biaya tidak mungkin dilaksanakan.

Untuk memberi gambaran yang kongkrit tentang contoh proposal yang baik: di bawah ini dikutip sebuah Research Design (RD) yang dibuat oleh Tim Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (1997) yang berjudul: “Perilaku Kekerasan Kolektif: Kondisi dan Pemicu” yang dilakukan di delapan tempat (Kalimantan Barat, Timor Timor (sebelum merdeka), Tasikmalaya, Banjarmasin, Sampang, situbondo dan Pelalongan).

Untuk calon peneliti atau mahasiswa, paling tidak, ada tiga point yang ditekankan dalam latar belakang RD itu, yakni:
Pertama, mengungkapkan data berbagai kasus kerusuhan di Indonesia mulai Januari 1995 s/d Juni 1997 yang mencapai 20 kekerasan kolektif di berbagai daerah:
Kedua, mengemukakan penjelasan (komentar) yang muncul dalam masyarakat seperti: Pertama, bahwa kerusuhan itu bersfat SARA; kedua, akar permasalahan kerusuhan itu akibat kesenjangan sosial-ekonomi dan kesenjangan distribusi pembangunan Orde Baru: Ketiga, akibat perubahan sosial yang cepat yang tidak diikuti pengembangan proses dan mekanisme politik dan ekonomi yang adil dan keempat, adanya dugaan bahwa kerusuhaan itu sekedar ekses dari pertikaian politik antar-elite Jakarta yang menemukan salurannya dalam politik lokal.
Ketiga, membangun anggapan dasar bahwa apapun eksplanasi yang diajukan, argumen itu harus memungkinkan pemilahan antara kondisi (condition) dari pemicu (precipitation). Menurut tim RD, analisis yang teliti tentang fenomena yang rumit itu menuntut dilakukannya faktor-faktor penyebab yang berfungsi mempersiapkan kondisi sosial, kultural, psikologi, ekonomi dan politik bagi munculnya ketidakpuasan, kekecewaan, frustasi, dan membedakannya dari faktor-faktor pemicu yang berujud pada kejadian yang sebenarnya sekedar meletupkan ketidakpuasan itu menjadi kerusuhan masal.
Jadi argumentasi yang dibangun, di luar menyajikan data statistik tentang berbagai jenis kerusuhan masal sepanjang tahun 1995-1997 dan mengungkapkan dugaan orang terhadap sebab-musabab atas terjadinya kerusuhaan itu (yang tentu saja masih membutuhkan pembuktian dalam penelitian), juga, yang terpenting, mereka menawarkan pendekatan yang lebih rinci dan holistik. Mulai dari perlunya memisahkan antara kondisi (condition) dari pemicu (precipitation), sampai pada pendekatan multi-perspektif (psikologi, cultural, sosial, politik dan ekonomi).
Dengan kata lain dari seluruh argumen yang disajikan (data statistik tentang kerusuhan, anggapan orang lain tetang sebab-musabab kerusuhan massal itu dan tawaran pendekatan yang akan digunakan): Intinya hanya ingin menyampaikan pesan bahwa penelitian itu penting untuk dilakukan.

Perumusan Masalah

Merumuskan masalah pada dasarnya sangat berkaitan dengan tujuan dan sifat penelitian yang akan dilakukan. Artinya perumusan masalah sangat tergantung dengan tujuan penelitian yang hendak dicapai dan jenis penelitian yang akan dilakukan. Sementara bentuk perumusan masalah dapat berupa pertanyaan atau berbentuk peryataan.

Jika tujuan penelitian itu bersifat deskriptif, misalnya, maka bentuk pertanyaannya biasanya dirumuskan dengan pertanyaan “apakah” (what), tetapi jika jenis penelitiannya bersifat eksplanasi (to explain), maka perumusan masalahnya biasanya didahului oleh pertanyaan “mengapa” (why) atau bagaimana atau sejauhmana (how).

Tentu saja kententuan ini bukan rumus matematis atau harga mati. Artinya kalau tidak begini penelitian yang akan dilakukan menjadi tidak syah. Tentu saja, tidak. Apa yang dikemukakan dalam rumusan masalah sebenarnya berupa pertanyaan-pertanyaan yang ingin ditemukan jawabannya dalam penelitian yang akan dilakukan.

Sementara hal-hal yang dapat dipilih sebagai masalah antara lain: kontribusi terhadap khasanah ilmu pengetahuan; menindaklanjuti temuan-temuan sebelumnya; dan mencari jawaban dari (sesuatu) masalah dan sebagainya. Dan yang lebih penting pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan dalam perumusan masalah minimal harus menyatakan hubungan antar dua gejala, apa yang akan diteliti harus dapat ditiliti secara empiris dan dikemukakan secara eksplisit.

Sebenarnya ada beberapa prinsip perumusan masalah yang lazim digunakan dalam penelitian kualitatif seperti dirumuskan Moleong (1998):

Pertama, fungsi perumusan masalah pada dasarnya sekedar untuk arahan, bimbingan, atau acuan untuk menemukan masalah yang sebenarnya. Sedangkan masalah yang sebenarnya baru mungkin ditemukan ketika peneliti sudah mulai melakukan pengumpulan data.

Kedua, jika penelitian yang dilakukan bukan memverifikasi teori (kuantitatif), melainkan upaya untuk menemukan teori subtanstif (kualitatif), maka masalah yang dirumuskan akan berfungsi sebagai patokan untuk analisa data atau menjadi hipotesa kerja.

Ketiga, rumusan masalah mungkin akan terdiri dari dua faktor atau lebih. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan pada waktu merumuskan masalah: (1) adanya dua faktor atau lebih: (2) faktor-faktor itu dihubungkan dalam suatu hubungan yang logis atau bermakna (3) hasil menghubungkan itu mungkin berupa pertanyaan yang membutuhkan jawaban atau membutuhkan pemecahan masalah. Inilah yang biasanya disebut sebagai tujuan penelitian.

Keempat, dalam upaya untuk membatasi studi dalam perumusan masalah harus konsisten dengan paradigma yang digunakan.

Kelima, rumusan masalah yang dibangun harus jelas dan tegas.

Keenam, rumusan masalah: (1) dapat berbentuk deskriptif atau tanpa pertanyaan penelitian; (2) dapat secara langsung menghubungkan faktor-faktor hubungan logis dan bermakna: (3) secara gabungan antara bentuk diskriptif (pernyataan) dan pertanyaan.

Ketujuh, unsur lain yang biasanya berkaitan erat dengan perumusan masalah adalah “latar belakang  masalah”, “tujuan penelitian” dan “metode penelitian”. Meskipun tidak ada acuan baku apakah latar belakang  masalah harus dipisahkan atau digabung dengan rumusan masalah: atau rumusan masalah harus dipisah atau digabung dengan tujuan penelitian dan seterusnya, tetapi yang paling lazim, antara latar belakang  masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian dan metode penelitian adalah dipisahkan.

Kedelapan, untuk mempertajam perumusan masalah diperlukan hasil kajian pustaka yang relevan.

Kesembilan, dalam merumuskan masalah sebaiknya mempertimbangkan faktor bahasa dalam pengertian siapa yang dibidik sebagai pembacanya.

Kembali pada contoh penelitian UGM. Setelah membangun argumentasi tentang perlunya pendekatan yang holistik, diharapkan memperoleh pemahaman yang cukup menyeluruh tentang modus resolusi konflik yang dapat menjangkau penyebab utama persoalan tersebut. Dari sini ada tiga masalah penelitian yang dirumuskan:

Pertama, bagaimana karakteristik dan ragam dari tindak kekekerasan yang terjadi dalam masyarakat? Apa kaitannya dengan tindak kekerasan yang mewarnai kerusuhan massal itu ?

Kedua, mengapa tindak kekerasan dan kerusuhan massal itu terjadi ? Kondisi-kondisi apa yang menyebabkannya? Apakah hal itu disebabkan adanya kekecewaan, ketidakpuasan, frustasi, sinisme dan ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga publik yang meluas dalam masyarakat? Apa hubungan antara meluasnya kekecewaan dalam masyarakat dengan kondisi-kondisi tersebut di atas?
Ketiga, mengapa dan bagaimana kondisi-kondisi itu muncul? Apa kaitannya dengan strategi pembangunan yang dijalankan oleh Orde Baru?

Dari perumusan masalah yang dibuat tampak bahwa penelitian ini bukan sekedar dimaksudkan untuk mengambarkan (to describe) kasus kerusuhan yang diteliti, tetapi juga, ingin menjelaskan (to explain) sebab-musabab kerusuhan missal itu. Sehingga jenis pertanyaan “apa” (what), mengapa (why) dan bagaimana (how) atau sejauhmana, telah menjadi pertanyaan-pertanyaan yang digunakan dalam merumuskan masalah.

Tujuan Penelitian

Seperti dikemukakan diatas bahwa antara rumusan masalah dan tujuan penelitian idealnya merupakan satu kesatuan yang utuh. Seperti diketahui ada beberapa tujuan penelitian yang biasanya digunakan dalam ilmu social:

1. To explore, jika tujuan penelitiannya hanya untuk penjelajahan,
2. To describe, jika tujuan penelitiannya hanya untuk menggambarkan realitas sosial,
3. To explain, jika tujuan penelitiannya untuk menjelaskan (hubungan sebab-akibat) atau membuktikan suatu teori tertentu,
4. To understand: jika tujuan penelitiannya hanya untuk memahami realitas yang akan diteliti,
5. To predict, jika tujuan penelitiannya untuk meramalkan dst.

Yang paling penting dalam tujuan penelitian adalah mengemukakan secara jelas apa yang ingin dicapai dalam penelitian yang akan dilakukan. Baik dari kepentingan pragmatik (problem solving) maupun dalam kepentingan akademik (kemungkinan ditemukannya bangunan konsep atau teori).
Semua perumusan tujuan itu akan sangat tergantung pada jenis penelitian yang akan dilakukan, misalnya:

1. apakah penelitian akademik,
2. penelitian kebijakan,
3. penelitian aksi atau penelitian jenis lainnya.

Biasanya yang sering ditemukan dalam research design adalah ketidakkonsistenan antara rumusan masalah, tujuan penelitian dan kesimpulan.

Seringkali kesimpulan yang dimuat sama sekali tidak ada hubungannya dengan tujuan yang telah dirumuskan. Karena itu, yang perlu dilihat secara cermat dan teliti adalah ’apakah antara rumusan masalah, tujuan penelitian dan kesimpulan sudah terjadi konsistensi dan koherensi?’

Kembali saya kutip tujuan penelitian yang diulakukan UGM (1997) sebagai berikut:
Partama, menemukan “benang-merah” yang menghubungkan beberapa tipe kerusuhan sosial tersebut, yaitu menemukan kondisi yang mendasari munculnya perilaku kekerasan kolektif itu.
Kedua, mengusulkan kebijakan publik guna membenahi kondisi demi mencegah berulangnya kejadian tersebut.
Di sini terlihat bahwa tujuan penelitian harus berkaitan atau merupakan satu-kesatuan dengan rumusan masalahnya. Meskipun kegunaan penelitiannya dijadikan satu dengan tujuan penelitiannya. Sementara tujuan pertama yang dirumuskan jauh lebih sederhana dibandingkan tujuan kedua yang ingin dilakukan (problem solving) yaitu mencegah berulangnya kerusuhan.

Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian sebenarnya lebih diperuntukkan untuk menjawab kebutuhan yang lebih pragmatik daripada kebutuhan akademik. Karena itu rumusan yang dikemukakan, jika penelitian itu akan menjanjikan rekomendasi, maka rumusannya harus menyakinkan dan berhasil-guna seperti yang telah ditawarkan dalam tujuan penelitian. Dalam banyak kasus antara tujuan dan kegunaan penelitian tidak jarang dijadikan satu, seperti yang kita saksikan dalam penelitian UGM, meskipun umumnya dipisahkan.

Oleh karena itu, peneliti boleh menambah ide yang lebih luas kegunaan penelitian. Secara garis besar kegunaan penelitian dapat dilihat dari aspek pengembangan keilmuan, menyelesaikan problematikan yang muncul dalam masyarakat, berkaitan dengan kebijakan publik, menemukan atau membuktikan suatu konsep atau teori dalam berbagai bidang ilmu, mencari jawaban terhadap permasalahan masyarakat dan atau pemerintah, dan sebagainya. Jadi kegunaan penelitian minimal harus sesuai dengan tujuan penelitian, dan boleh ditulis hal-hal yang agak relevan dengan tujuan penelitian.  

Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir dalam penelitian adalah bagaimana langkah-langkah pemikiran peneliti yang akan dilakukan dalam menyelesaikan penelitiannya. Biasanya langkah-langkah pemikiran ini deskripsi singkat sebanyak satu atau dua lembar. Sebagian besar peneliti menulis kerangka berfikir dalam bentuk bagan konsep, sehingga memudahkan orang untuk secara singkat mengerti apa yang akan dilakukan peneliti dalam melaksanakan penelitiannya.

Dalam penelitian kuantitatif, seringkali kerangka berfikir ada kemiripan dengan prosedur penelitian. Walaupun kedua langkah ini dapat dibedakan. Di mana prosedur penelitian lebih rinci menjelaskan langkah-langkah secara detai seluruh tahapan kegiatan penelitian. Sementara kerangka befikir menjelaskan secara global.

Contoh 1. kerangka berfikir dalam penelitian;
BAGAIMANA MERANCANG SEBUAH PENELTIAN ?

Sekali lagi kerangka berfikir dituangkan dalam penulisan karya ilmiah dimaksudkan untuk memberikan gambaran bagaimana jalannya pemikiran peneliti untuk menyelesaikan permasalahan penelitiannya. Logika berfikir peneliti akan terbaca dalam kerangka berfikir yang ia tuliskan. Lebih operasional dan lebih rinci kerangka berfikir ini akan dijabarkan dalam prosedur peneleitian.  
Contoh 2 Kerangka Berpikir, Skripsi mahasiswa S.1
BAGAIMANA MERANCANG SEBUAH PENELTIAN ?

Prosedur Penelitian:   Flow Chart Membuat Peta Konsep dalam Pembelajaran 

Contoh Prosedur Penelitian, mahasiswa S.1

Tinjauan Pustaka/ Kerangka Teori dalam Desain Penelitian

Tinjauan pustaka pada dasarnya berisi kajian literatur yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan dan kegunaannya untuk menunjang rencana penelitian yang diajukan. Sementara kerangka teori merupakan masalah yang paling pokok dalam sebuah penelitian. Dengan penelitian, peneliti dapat menemukan teori baru atau sekedar membuktikan kebenaran teori lama. 

Dalam penelitian eksplanasi sangat jelas, jika sebuah hipotesa itu terbukti dengan cara verifikasi dan/atau falsifikasi yang terus menerus, maka posisinya bisa naik menjadi theory, middle theory, atau mungkin malah menjadi grand theory. Sebaliknya dalam penelitian kualitatif (grounded), posisi teori bukan untuk diuji tetapi sekedar untuk membantu memahami atau menafsirkan realitas sosial yang akan diteliti. Misalnya, mengapa masalah agama dan etnis merupakan ikatan sub-primordial yang paling sensitif dalam provokasi politik dan konflik sosial. 

Jika tujuan kita melakukan penelitian adalah untuk memahami, maka di sini jelas tidak ada verifikasi teori. Posisi teori hanya dimanfaatkan untuk membantu memahami atau menafsirkan gejala sosial yang ada. 

Dalam penelitian kuantitatif (survei) yang bersifat eksplanasi atau prediksi, maka posisi teori sudah sangat jelas. Dengan demikian cukup jelas bahwa perumusan masalah dalam penelitian merupakan satu-kesatuan dengan tujuan penelitian, sedangkan tujuan penelitian akan sangat menentukan jenis teori yang akan digunakan. Jika tujuan penelitian hanya mendiskripsikan realitas sosial, maka posisi teori hanyalah diposisikan untuk memahami atau menafsirkan temuan-temuan lapangan. Sebaliknya jika tujuan penelitiannya untuk eksplanasi, maka posisi teori untuk verifikasi (pembuktian teori).

Dalam posisi ini teori didefinisikan; pertama, merupakan serangkaian proposisi antar konsep-konsep yang saling berhubungan. Kedua, menerangkan secara sistematis suatu fenomena sosial dengan cara menentukan hubungan antar konsep dan bagaimana bentuk hubungannya (Effendi, 1989:37). 

Misalnya, kita akan meneliti gejala bunuh diri yang sangat marak di Gunung Kidul, Propinsi DIY, dengan menggunakan teori bunuh dirinya Emile Durkheim, yang mengatakan adanya hubungan antara kohesi sosial dengan pemahaman keagamaan. Menurut temuan Durkheim orang Protestan atau orang yang sendirian ternyata lebih mudah melakukan bunuh diri dibandingkan orang Katolik dan orang yang sudah berkeluarga. Alasannya hirarkhi gereja yang ketat dalam agama Katolik dan keterikatan orang yang sudah berkeluarga, membuat kohesi sosial lebih kuat dibandingkan agama Protestan dan orang yang sendirian yang ikatan sosialnya lebih longgar. Namun ternyata orang-orang yang banyak bunuh diri di Wonosari, Gunung Kidul, Yogjakarta, itu malah orang-orang Katolik atau Islam yang sudah berkeluarga. Jadi di sini uji teori telah dilakukan, termasuk mencari jawaban atas tidak berlakunya teori Durkheim dan kemungkinan pengaruh variable lain.

Sementara fungsi teori sebagai prediksi, telah ditemukan sebuah hitungan bahwa dalam situasi krisis ekonomi yang sekarang ini setiap pertumbuhan negatif 1 persen akan ada 400.000 orang yang menganggur. Dengan demikian jika sekarang pertumbuhan ekonomi kita terkontraksi 15 %, paling tidak akan ada 6 juta angkatan kerja baru yang menganggur. Di sini posisi teori sebagai peramal realitas sosial sangatlah jelas.
Yang biasanya agak membingungkan bagi peneliti, ketika harus meletakkan posisi teori sebagai alat untuk memahami atau menafsirkan realitas sosial, yang umumnya dikerjakan dalam penelitian kualitatif. Misalnya, mengapa etnis Minang itu lebih memiliki bakat kewirausahaan dibandingkan etnis lain. Apakah hal ini berkaitan dengan sistem kekerabatan yang matrilineal: di mana laki-laki secara kultural memiliki posisi yang lemah, khususnya dalam hal waris, atau ada faktor lain. 

Sehingga seorang laik-laki akan dianggap “cacat” secara kebudayaan jika mereka tidak merantau guna mempertegas identitas diri. Dengan kata lain merantau bukanlah sekedar upaya mencari kehidupan yang lebih baik, tetapi juga, merupakan tugas kebudayaan. Namun, mengapa keberhasilan suku Minang cenderung ada plafonnya (sulit menjadi pengusaha besar) dibandingkan etnik Cina. Lalu kita menggunakan teori Max Weber tentang afinitas antara kesadaran keagamaan (sekte Calvin) dengan tingkah laku ekonomi. Di sini jelas posisi teori bukan untuk diverifikasi tetapi sebagai usaha pemahaman (verstehen) atas realitas yang ada.

Dengan demikian, dalam bentuk penelitian apapun, dalam tahap tertentu, penggunaan teori tetap diperlukan. Hanya saja biasanya yang masih membingungkan dalam penyusunan research design, di manakah teori itu harus diletakkan; apakah sebagai penjelas dalam arti verifikasi teori atau sekedar untuk membantu memahami gejala sosial yang ada. Dengan demikian posisi teori pada dasarnya sangat ditentukan oleh tujuan penelitiannya. 

Jika dalam penelitian itu antara lain untuk menguji hipotesa, maka jelas bahwa posisi teori adalah sebagai alat pembuktian. Sebaliknya jika penelitian itu bersifat deskriptif, maka posisi teori untuk membantu mengkategorisasikan data atau memahami fenomena sosial yang ada. Yang paling sering ditemukan, meskipun teori sudah disusun sedemikian rupa, tetapi teori ternyata tidak dibunyikan dalam analisa. Seolah-olah bab teori menjadi bagian yang terpisah sama sekali dengan temuan lapangan.

Kembali pada contoh penelitian yang dilakukan UGM, rupanya mereka telah menyatukan antara tinjauan pustaka dengan kerangka teori. Meskipun dalam upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah dirumuskan, dalam pembahasannya dipilah dalam dua bagian. Pertama, yang berkaitan dengan konseptualisasi tentang kekerasan (violence): dan kedua, tentang teori-teori yang mencoba menjelaskan teori tersebut. 

Dalam mendifinisikan apa yang dimaksud dengan kekerasan, misalnya, tim RD ini, menggunakan definisi Ted Robert Gurr yang memusatkan pada “polical violence” dan juga, definisi Johan Galtung, yang memilah kekerasan langsung (violence as action) dengan kekerasaan tidak langsung yang built in dalam struktur (violence as structure). Dengan pengembangkan pikiran Galtung, mengembangkan konseptualisasi tentang kekerasaan yang tidak hanya dilakukan oleh masyarakat, tetapi juga, yang dilakukan penyelenggara negara dan pengendali kapital. Jadi, kekerasan politik bisa berlangsung dalam tiga aras: negara, struktur sosial, dan personal atau komunitas.

Kemudian untuk menerangkan jenis kerusahaan yang memungkinkan melibatkan masalah etnisitas seperti di Kalimantan Barat dan Irian Jaya, tim, menggunakan teori “etho-nationalism”, baik yang beraliran primordialist maupun instrumentalist. Bagi aliran primordialist beranggapan bahwa banyak gerakan politik berbasis suku yang menekankan nasionalisme etnik. Dan ini merupakan tradisi kultural yang didasarkan pada identitas etnik primordial. Motivasi utama tindakan politik mereka adalah memelihara identitas kultural. Sebaliknya, menurut etno-nationalism “instrumentalist” menafsirkan isyu etnisitas itu sekedar sebagai “an exercise in boundary maintenance” (Willian A Douglas (1993) dan berasumsi bahwa gerakan komunal merupakan respon dari perlakukan diskriminasi (pilih-kasih). Dengan kata lain penggunaan simbol-simbol etnik pada dasarnya didasarkan pada alasan praktis, yaitu sebagai sarana efektif untuk menimbulkan dukungan emosional. 

Berikutnya setelah melakukan kritik terhadap teori Gurr tentang “deprivasi relatif” dan “ethno-nasinalis” yang instrumentalist melalui pandangan Charles Tilly (1978), yang mengatakan bahwa “kekerasan politik itu terjadi bukan karena ekspresi emosional masyarakat tetapi merupakan tindakan rasional atau tindakan instrumental untuk mencapai kepentingan politik tertentu. Ringkasnya kekerasan politik adalah hasil kalkulasi politik.”

Seterusnya untuk mencari penjelasan tentang faktor-faktor yang dianggap menentukan intensitas kekecewaan dan potensial dalam melakukan tindakan politik bagi kelompok minoritas, juga menggunakan teori Gurr, sedangkan tentang penguatan identitas dan kohesi kelompok, tim menggunakan konseptualisasi Peter Blau, mengenai struktur pemilahan social (social cleavages) dalam masyarakat.

Yang ingin saya tunjukkan di sini adalah setiap variable yang akan dicari jawabannya dalam penelitian telah dicarikan landasan teorinya; guna untuk membantu memahami data yang ditemukan atau membantu hipotesa kerja yang telah dibangun.
Merumuskan Hipotesa

Sebagaimana kita ketahui bahwa masalah hipotesa memegang peran sentral dalam setiap penelitian ilmu sosial, baik yang menggunakan metode kuantitatif maupun metode kualitatif. Walaupun ada sebagian orang yang mengatakan bahwa pada penelitian kualitatif tidak merupakan keharusan adanya hipotesa. 

Menurut Young, seperti dikutip Melly G. Tan (1983:37) peranan hipotesa dalam penelitian ilmu sosial dapat diperinci sebagai berikut: 
(1)   Memberikan tujuan yang tegas bagi penelitian; 
(2) Membantu dalam menentukan arah yang harus ditempuh, dalam pembatasan ruang lingkup penelitian dengan memilih fakta-fakta yang menjadi pokok penelitian dan menentukan fakta-fakta yang relevan; 
(3)  Menghindarkan suatu penelitian yang tidak terarah dan tidak bertujuan.

Sementara dari segi jenisnya hipotesa itu pada dasarnya ada dua. Pertama, hipotesa penguji. Kedua, hipotesa kerja. Jika hipotesa penguji lebih merupakan instrumen teori untuk diuji kebenarannya secara empiris: apakah hipotesa itu ditolak atau diterima, maka dalam hipotesa kerja tidak ada pembuktian atau pengujian empiris. Hipotesa kerja merupakan rumusan atau tanggapan mengenai arah penelitian dan bukan mengenai hasil penelitian.

Dalam penelitian kuantitatif hipotesa pada dasarnya merupakan hasil deduksi dari teori atau preposisi, yang lebih spesifik sehingga lebih siap untuk diuji secara empiris. Misalnya kita ingin menjelaskan mengapa perilaku agresif lebih menonjol pada suatu lingkungan masyarakat tertentu jika dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Untuk menjelaskan gejala itu kita membutuhkan teori agresif yang salah satu preposisinya menyatakan bahwa frustasi menyebabkan tindakan agresif. Tentu saja proposisi semacam ini masih membutuhkan hipotesa yang lebih rinci, misalnya tindakan agresif lebih tinggi pada kelompok masyarakat yang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi daripada tingkat kepadatan penduduk yang lebih rendah’ (Effendi, 1989:43). Di sini sangat jelas bahwa hipotesa dalam penelitian kuantitatif adalah untuk memverifikasi teori.

Contoh hipotesis null dalam penelitian kuantitatif yang kompleks :

Ho: Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara skor min kemahiran berfikir sains, sikap pelajar terhadap kimia dan kesukaran dalam pembelajaran kimia dalam ujian pra antara kumpulan eksperimen dengan kumpulan kawalan. (Wahidin, 2004)

Ho: Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara skor min kemahiran berfikir sains, sikap pelajar terhadap kimia, dan kesukaran dalam pembelajaran kimia dalam ujian pasca antara kelompok berkemampuan tinggi, sederhana dan rendah. (Wahidin, 2004)

Ho: Tidak terdapat kesan interaksi yang signifikan antara kelompok dalam tahap kemampuan terhadap kemahiran berfikir sains, pencapaian kimia,  sikap terhadap kimia, dan kesukaran dalam pembelajaran kimia pada ujian pasca. (Wahidin, 2004)

Contoh hipotesis null dalam penelitian kuantitatif yang sederhana :

Ho: Tidak terdapat perbedaan yang signifikan penguasaan konsep antara kelas siswa yang diajar menggunakan pendekatan CTL dengan kelas yang tidak menggunakan pada materi ekologi di SMA kelas X.
Jenis hipotesis memang ada dua, satunya lagi adalah kebalikan dari hipotesis null yakni hipotesis kerja (alternatif) atau Ha, misalnya;
Ha: Terdapat perbedaan yang signifikan penguasaan konsep antara kelas siswa yang diajar menggunakan pendekatan CTL dengan kelas yang tidak menggunakan pada materi ekologi di SMA kelas X.
Perlu menjadi catatan calon peneliti, bahwa untuk pengujian hipotesis dalam penelitian, gunakan hipotesis null. Alasannya adalah bila hipotesis alternatif yang digunakandan andaikan hipotesisnya diterima (dan itulah yang diharaokan) maka penerimaan itu belum kuat. Sebabnya penerimaan itu belum kuat karena penerimaan itu baru sebuah dari banyak penerimaan yang bisa terjadi. Tetapi, jika hipotesis null yang dipakai, maka bila terjadi penolakan (dan itulah yang diharapkan) walaupun hanya ada sebuah, maka cukup kuat untuk mengambil keputusan bahwa perbedaan itu ada (Ruseffendy, 1993).
Dalam penelitian kualitatif hipotesa (kerja) lebih merupakan semacam petunjuk jalan, yang bisa disusun sebelum dan/atau ketika penelitian itu sedang berlangsung. Tujuannya bukan untuk diverifikasi melainkan untuk dijadikan pedoman kerja, yang setiap saat bisa berubah jika ada temuan-temuan yang berbeda dengan asumsi semula. Jadi dalam penelitian kualitatif hipotesa bisa ’dipungut ’dijalan.
Kembali pada penelitian UGM, dalam menjawab mengapa terjadi kekerasan seperti kerusuhan? Dalam penelitian yang dilakukan RD itu telah dikembangkan hipotesa kerja bahwa “kekerasan politik pada aras komunitas itu terjadi karena adanya perasaan frustasi yang mendalam dan meluas di kalangan masyarakat. Terutama dalam “relative deprivation”, yaitu ketidaksesuaian antara “value expectation” masyarakat (yaitu harapan akan barang-barang atau kondisi hidup yang mereka yakini sebagai hak) dengan “value capability” mereka (yaitu barang-barang atau kondisi yang mungkin mereka peroleh atau kemampuan sistem untuk memungkinkan orang memperoleh barang-barang dan kondisi yang mereka inginkan). Kondisi inilah yang menimbulkan frustasi.
Dengan demikian, jika intensitas kekecewaan itui semakin tinggi dan menyentuh berbagai lapisan, termasuk kaum elit, maka kekerasan yang muncul akan semakin meluas dan dalam bentuk yang lebih canggih (Gurr, 1970:3-9). Dari teori Gurr ini kemudian diperas menjadi hipotesa yang lebih rinci bahwa “kekecewaan masyarakat terhadap deprevasi dan perlakuan yang tidak adil merupakan motif utama tindak kekerasan politik seperti kerusuhan”.
Apa yang ingin saya sampaikan di sini, dengan panjang lebar mengutip penelitian UGM tersebut adalah: Pertama, hipotesa kerja pada dasarnya dapat diturunkan dari hasil kajian pustaka atau hasil penelitian orang lain. Kedua, setiap variable atau lebih tepatnya hubungan antar variable yang akan dicari penjelasannya perlu landasan teoritik yang mapan. Meskipun posisinya untuk membantu memahami atau menafsirkan realitas dan bukan untuk diverifikasi. Ketiga, dalam kasus penelitian UGM yang kualitatif itu, terlihat bahwa setiap pertanyaan penelitian yang berkaitan dengan kekerasan, selalu dilandasi oleh kerangka teoritik yang jelas: kekerasan politik (Ted Robert Gurr), psikologis (Johan Galtung), ikatan primordialist (William A Douglas), struktur pemilahan social (Peter Blau) dan sebagainya. Keempat, dari seluruh kerangka teoritik yang dikutip, seluruhnya berfungsi untuk membantu mencari penjelasan terhadap masalah yang diteliti (ingat posisi teori dalam penelitian kualitatif).

Sampel Penelitian

Sebagaimana diketahui bahwa dalam penelitian kuantitatif (survei) ada prinsip keterwakilan (representativeness) atau probabilitas dalam generalisasi hasil-hasil temuan, sehingga masalah sampel sangat penting. 

Dalam kajian pendidikan seperti di sekolah, para peneliti boleh menganggap sampel relatif homogen (dalam kontek penelitian pendidikan). Misalnya seorang akan melakukan penelitian tentang pengaruh model pembelajarn tertentu di sebuah SMA/MA, SMP/MTs, atau SD/MI maka boleh mengasumsikan pada kelas tertentu dianggap homogen. Misal penelitian dengan mengambil sampel secara random pada siswa kelas X (SMA). Seandainya kelas X ada delapan kelas, maka cukup peneliti mengambil sampel secara random dari delapan kelas tersebut. Dalam konteks ini, tentu tidak boleh melakukan pengambilan sampel secara random untuk kelas yang berbeda, misalnya kelas X dengan kelas XII.

Sebaliknya dalam penelitian kualitatif karena tidak ada prinsip keterwakilan, maka masalah jumlah sampel tidak menjadi fokus utama. Sebagai konsekuensinya tidak ada prinsip generalisasi atau prediksi. Dalam penelitian kualitatif yang sering dilakukan dalam bentuk studi kasus, tidak ada kesimpulan yang dapat digeneralisasikan. Ia hanya berlaku dalam kasus yang diteliti saja. 

Sebagai contoh, seorang peneliti kualitatif, boleh mengambil sampel hanya satu atau 2 orang siswa saja dalam kelas tertentu. Misalnya akan melakukan penelitian tentang gaya belajar siswa SMP kelas 8. Maka peneliti boleh mengambil sampel siswa SMP kelas 8 tersebut satu atau 2 orang saja. Bahkan apabila seorang peneliti akan mengkaji tentang gaya mengajar guru fisika misalnya, dia boleh meneliti terhadap sorang guru fisika. 

Dengan demikian, jika dalam penelitian kuantitatif masalah jumlah sampel menjadi ukuran pokok untuk menentukan validitas hasil penelitian yang dilakukan, maka dalam penelitian kualitatif yang krusial adalah tingkat kedalamannya. Karena itu, tidak mengherankan jika dalam penelitian kuantitatif yang menjadi instrumen utama adalah kuesioner maka dalam penelitian kualitatif yang menjadi alat utamanya adalah peneliti itu sendiri.

Karenanya, jika penelitian yang dilakukan bentuknya survei, maka dalam research design juga sudah harus dikemukakan secara jelas bagaimana teknik pengambilan sampel akan dilakukan termasuk besarnya sampel serta alasan-alasannya. Misalnya, jika menggunakan sampel acak stratifikasi proporsional atau sampel acak stratifikasi tidak proposional atau mungkin sample klaster, sampel spurposif, semuanya harus dijelaskan yang disertai oleh alasan-alasan atas pilihan itu.

Instrumen Penelitian

Seperti dijelaskan di atas bahwa instrumen penelitian merupakan hal yang prinsip atau pokok dalam penelitian kuantitatif adalah kuestioner. Sedangkan dalam penelelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri. Oleh karena itu, dalam research design sudah harus disertakan kuestionernya. Tentang bagaimana teknik membuat kuestioner yang baik, maaf tidak dapat diuraikan di sini. Namun yang jelas dalam kuestioner harus ada variabel yang akan diukur termasuk penurunan indikatornya harus konsisten dengan hipotesa dan tujuan yang telah dirumuskan. Demikian juga untuk penelitian kualitatif harus sudah disertakan cheklistnya dan pedoman wawancara meskipun wawancara yang akan dilakukan tak berstruktur. 

Dalam jenis penelitian eksperimen, misalnya kajian tentang kegiatan pembelajaran guru dan siswa di kelas, layanan perawat di rumah sakit, kegiatan ibu-ibu pengajian di kampung tertentu dan sebagainya memerlukan instrumen berupa lembar observasi. 

Dalam lembar observasi itu dinyatakan indikator-indikator yang akan diukur, atau yang akan kaji, atau boleh saja tidak menggunakan indikator yang pasti tetapi semua yang muncul di catat. Berdasarkan catatan sebelumnya, daftar observasi dapat dikatakan daftar cheklist, artinya pernyataan-pernyataan itu telah dituliskan oleh peneliti sebelum penelitian itu dilakukan.

Misalnya lembar observasi tentang aktivitas siswa selama kegiatan belaajr di kelas. Dalam lembar itu tercantum hal hal seperti; diskusi, mengacungkan tangan untuk bertanya, mengerjakan tugas guru maju ke depan, mengobrol, mengerjakan tugas, menulis, merangkum, berdiskusi, jalan-jalan mengganggu kawan lainnya, bernyanyi-nyanyi, mencubit kawannya, meminjam tanpa ngasih tahu, bertanya, menjawab pertanyaan guru, mengkritik kawannya, dan sebagainya.

Dalam penelitian sebenarnya, peneliti dapat membuat sendiri instrumen (bagi mahasiswa program doktor biasanya) dapat pula mengeleborasi dari instrumen yang sudah dibuat orang. Untuk mahasiswa S.1 dan S.2 sebaiknya mengelaborasi dari instrumen yang sudah jadi agar hasil penelitiannya sesuai. 

Perlu menjadi catatan para peneliti pemula terutama rekan mahasiswa program S.1 tidak boleh membuat insturmen asal-asalan. Maksudnya membuat sendiri instrumen tanpa memperhatikan kriteria yang seharusnya dilakukan. Seandainya akan mengukur prestasi siswa, maka tentu instrumen menggunakan tes. Tes misalnya berupa soal. Maka soal minimal sesuai dengan indikator penelitian yang telah disepakati. Setelah soal dibuat lakukan analisis validitas dan analisis reliabilitasnya. Untuk instrumen pada skripsi, pengukuran validitas isi dan validitas konstruk misalnya, cukup dilakukan oleh dosen ahli dibidangnya dan disyahkan. Sementara reliabilitas perlu dilakukan kepada subjek penelitian kemudian dianalisis secara statistik. Kedua cara ini, minimal harus dilakukan.   

Saat ini sudah banyak instrumen yang telah dibuat orang untuk kepentingan pengukuran masalah-masalah pendidikan dan sosial, misalnya instrumen untuk mengukur (sikap, keterampilan proses, keterampilan berfikir tertentu, kualitas barang, inteligensi, kinerja, prestasi, emosi, dan sebagainya).    
Instrumen-intrumen yang telah dibuat itu tentu telah valid untuk mengukur bidang tertentu, tetapi peneliti perlu mengelaborasi dan menentukan reliabilitasnya melalui pengujian di lapangan. 

Dalam konteks pengujian instrumen, peneliti harus mengujinya melalui uji instrumen. Melakukan uji instrumen tidak boleh dilakukan terhadap objek yang akan dijadikan sampel penelitian ataupu kontrol penelitian. Jadi melakukan uji instrumen harus dilakukan pada tingkatan yang sama tetapi kelas berbeda. Misalnya penelitian akan dilakukan pad kelas 8A SMP 2 Cirebon. Maka pengujian instrumen dilakukan mungkin pada kelas 8F dan sebagainya.   

Pemilihan Lokasi Penelitian

Satu hal yang seringkali dianggap sepele dan diabaikan dalam pembuatan research design adalah masalah penetapan lokasi penelitian. Penetapan lokasi penelitian tentu saja harus disesuaikan dengan masalah penelitian yang akan digarap dan bukan atas dasar pertimbangan pragmatis yang kurang relevan dengan problem atau pertanyaan penelitian yang akan dicari. 

Misalnya, karena dekat rumah, atau malah meneliti di kampus sendiri dan sebagainya. Kalau saja pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive), semuanya harus tetap didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan ilmiah daripada pertimbangan pragmatis. Meskipun tidak ada larang untuk memilih lokasi dekat daerah asal, tempat kelahiran dan sebagainya, tetapi pertimbangannya tentu bukan untuk mencari kemudahan akomodasi tetapi lebih pada kebutuhan problem penelitian yang akan dilakukan itu sendiri.
Analisa Data

Untuk analisa data penelitian kuantitatif sebenarnya sangatlah sederhana. Apalagi sekarang sudah ada program SPSS. Kita tinggal memasukkan data dan mengolahnya sesuai hipotesis yang telah dibuat peneliti atau menurut rumusan masalah yang ingin diselesaikan peneliti. Apakah kita akan menggunakan analisa sederhana seperti chisquare, product moment, regresi dan sebagainya sangat tergantung pada kebutuhan dan tujuan penelitian kita. Tetapi semua rencana analisa itu harus disebutkan dalam research design. 

Sedangkan pada penelitian kualitatif teknik analisa datanya jauh lebih rumit dan harus memiliki konsistensi dengan metodologi yang digunakan. Misalnya jika kita menggunakan metodelogi fenomenologi maka analisa data yang digunakan juga harus konsisten. Atau jika kita melakukan penelitian teks sastra dengan menggunakan analisanya strukturalisme Levi Strauss, maka kita harus menggunakan analisa yang konsisten atas prinsip-prinsip yang dikembangkan Strauss dan seterusnya.
Dalam analisa penelitian kualitatif, misalnya, dengan menggunakan analysis interactive model yang dikembangkan Miles dan Haberman (1987) seperti mulai data collection and timing, data display, data reduction and analysis, hingga conclution: atau, dengan menggunakan 12 langkahnya Spartley dalam studi etnografi dsb. Di samping itu dalam research design juga perlu disertakan adalah rincian budget, time table, expected outcomes or benefits, problems and limitation. 

Analisis data kualitattif dapat juga dilakukan dengan teknik Kohn Cappa (Wahidin, 2004). Biasanya data dalam bentuk konsep oleh peneliti dikumpulkan melalui wawancara. Hasil wawancara itu, kemudian dibuat transkripsinya. Transkripsi itu, di petakan sesuai konsep-konsep yang relevan dan sesuai indicator yang ditentukan sebelumnya. Konsep-konsep yang sama atau mirip dikelompokkan untuk memudahkan menyusun deskripsi. 

Demikian Goodpeople, semoga bermanfaat bagi kalian, jika tak berkeberataan share artikel ini pada teman atau siapapun. terimakasih telah berkunjung.
Latest
Previous
Next Post »

1 komentar:

Write komentar
Unknown
AUTHOR
June 4, 2016 at 12:59 AM delete

panduan lomba karya tulis dikti http://adf.ly/1aqjNt

Reply
avatar