CONTOH ESAI SASTRA : ESAI PANJANG

Goodpeople-- Kita lanjutkan ke contoh esai sastra yang kedua, yakni esai panjang. Bagaimanakah contoh esai sastra : esai panjang ? Silakan di baca ;)


INTEGRITAS DALAM SASTRA
Oleh :  Radhar Panca Dahana

     SEBAGAIMANA banyak bidang kehidupan lainnya, kehidupan dalam sastra juga memiliki romantiknya sendiri. Baik itu romantika yang berlangsung secara internal, di dalam diri atau lingkungan terbatas sastra itu sendiri. Maupun romantika yang berhubungan dengan kehidupan eksternal sastra, seperti kehidupan politik, sosial, ekonomi, hukum, dan bagian kebudayaan lainnya.
     Karena relasi dan realitas saling memengaruhi di antara bidang-bidang kehidupan itulah, romantisme lingkungan sastra juga ditandai oleh pergesekan kepentingan, permainan emosi, olah taktik-strategi, bahkan juga tipu muslihat. Tak bisa dibantah, misalnya, di dalam pergaulan sastra juga terjadi usaha akumulasi kekuatan (sosial, politik, dan ekonomi, misalnya) untuk antara lain menciptakan otoritas bahkan hegemoni dalam justifiasi atau legitimasi kesastraan sebuah karya.
     Hal ini berlaku umum, tentu saja. Tak hanya di Jakarta, tapi juga di kota-kota lain, juga di banyak negara lain. Bagaimanapun, sebagai sebuah bidang kehidupan, sastra juga memiliki posisi, peran, dan fungsi strategis yang dapat secara praktis digunakan untuk menciptakan "kekuasaan" atau meraih akses pada fasilitas sosial dan ekonomi yang ada. Karena itu, akumulasi kekuatan tersebut menjadi penting bagi segolongan pekerja dan penikmat sastra. Dan kepentingan pun mulailah bekerja di sini.
     Permainan dan perbenturan kepentingan ini, dalam istilah teknis, disebut sebagai "politik sastra". Suatu kegiatan tersendiri, yang kadangkala begitu dominan, bahkan merasuki, menjadi "racun" bagi kreativitas yang menjadi variabel paling penting dalam sastra. Sebagai contoh, seorang sastrawan muda, yang masih marjinal dan ber-"kasta" rendah, yang baru saja masuk dan mengenal percaturan sastra "kelas menengah dan tinggi", akan dengan cepat tergiur dengan imbalan legitimasi serta materi (uang) yang ditawarkan oleh satu kelompok kepentingan tertentu. 
     Walaupun untuk itu ia harus membayarnya dengan loyalitas tinggi, menjadi "yes men", atau menjadi pengikut "ideologi" sastra bahkan "politik" dari pemegang kuasa kelompok tersebut. Akibatnya, masyarakat sastra punkemudian terpecah dan terkotak-kotak menjadi gerombolan-gerombolan sastrawan yang terikat dengan fasilitas, tujuan, kepentingan dan ideologi tertentu. Dampak dari keadaan ini, ada beberapa yang dapat terlihat dengan mudahnya.
     Pertama, masyarakat sastra menjadi terseparasi secara horisontal, yang dikemudian waktu berkembang menjadi separasi kepentingan dan ideologis yang kian tajam. Kedua, dalam situasi tersebut, konflik pun tak terelakkan lagi, berlangsung khususnya demi dan untuk kepentingan ideologi yang non-sastrawi. Akhirnya sastrawan (muda) pun lebih banyak bertikai dengan sesamanya atas nama hal-hal yang non-artistik, mengikuti nafsu atau hasrat kekuasaan petinggi kelompoknya. Dan yang menarik, juga perlu penelitian lebih jauh, buah karya literer yang dihasilkannya pun kemudian terpengaruh oleh situasi yang konfliktual itu.
      Hal ketiga, separasi pun sebenarnya terjadi secara internal kelompok. Namun kali ini bentuknya vertikal, di mana tercipta gradasi berdasarkan senioritas. Namun, bukan gradasi sastra yang ditentukan oleh kualitas, kapasitas, atau kapabilitas literer saja, tapi juga oleh jangka waktu keterlibatan dan kemampuan mengakses fasilitas-fasilitas sosial, politik dan ekonomi. Maka kemudian"kualitas" sastra pun mulai menggunakan ukuran-ukuran yang standar-standarnya ada pada ranah politik, sosial, atau ekonomi. Ranah yang sama sekali ada di luar pertimbangan estetik maupun artistik.
     Yang keempat, juga membutuhkan pengamatan lebih lanjut, tercipta semacam pola rekrutmen yang menyaring peserta atau anggota baru melalui standar-standar literer tertentu (standar yang sesuai dengan ideologi sastra kelompok). Ditambah keterbatasan fasilitas yang dimiliki tiap kelompok, pola penyaringan ini pun mengetat, sehingga jumlah yang direkrut pun begitu minimnya dibanding jumlah pemain yang muncul. 
     Akibat dari hal di atas, sebagai hal kelima, muncullah segolongan besar sastrawan muda yang kesulitan memasuki atau gagal mengikuti proses rekrutmen dia atas. Sebagian dari mereka menggelandang bebas sebagai "ronin-ronin" sastra, sebagian mengelompok menciptakan komunitas tandingan -yang relatif lebih "miskin" tapi "kaya" dalam klaim-- dan sebagian lain memang memilih menjadi "musashi", sebagai pendekar tunggal yang independen dan marginal, tak peduli dengan seluh-selinguh di atas, kecuali pada karya itu sendiri. 
     Sebenarnya ada hal positif yang dapat diproduksi dari situasi - yang banyak dikeluhkan seniman dan sastraan senior - di atas. Separasi yang terjadi dalam dunia tau lingkungan sastra, sebenarnya bisa berkembang menguntungkan jika ia menjadi semacam diskursus intelektual. Semacam pergulatan bahkan pertikaian pada tingkat ide yang menyangkut pemahaman-pemahaman kesusastraan: cara pandang sejarah, world view, atau kecenderungan teoritis dan ideologis (dalam sastra) tertentu.
     Diskursus semacam ini akan memberi sumbangan yang berarti bagi perkembagan sastra mutakhir kita, yang selama berdekade lebih banyak tenggelam atau dipengaruhi oleh ide-ide yang didatangkan dari luar. Sehingga raksasa-raksasa akademik sastra pun masih banyak yang kita ambil dari berhala-berhala asing. Dengan adanya diskursus di atas, sebuah "penglihatan" sendiri dan tersendiri, terhadap dunia dan khazanah literer sendiri, dapat diharapkan muncul dan pada akhirnya membantu sebagian orang (sastrawan) yang sangat membutuhkan apa yang sering disebut sebagai "identitas kesusastraan Indonesia", misalnya.
     Jika separasi berlangsung terus sebagaimana terurai di awal hingga pertengahan tulisan ini, masyarakat sastra kita bisa dipastikan akan menjadi pucuk daun yang diayun oleh kekuatan-kekuatan sosial yang ada di luarnya (partai politik atau uang, misalnya). Namun jika ia berkembang positif sebagaimana disebut di paragraf sebelum ini, secara sinergis dinamika (yang konfliktual sekalipun) dari "kekuatan-kekuatan" sastra itu akan membentuk sebuah cerita, filosofi, bahkan weltanschauung tersendiri, dan semua pekerja sastra, tak terkecuali, dapat menautkan atau mengidentifikasi diri Tanpa harus terlalu tenggelam di kepentingan yang non-sastrawi.
     Yang lebih utama lagi, kemungkinan terciptanya integrasi dalam kesusastraan Indonesia pun dapat diharapkan. Satu masa atau keadaan di mana sastra Indonesia dapat ditengarai ciri-ciri atau struktur identifikatifnya, ditandai kekuatan dan kelemahannya, diteropong historitas dan masa depannya, ditemukan jati dirinya. Satu proses yang sudah berlangsung di beberapa negara, seperti India, Cina, Jepang, dan beberapa negara Barat misalnya.
     Wacana intelektual yang dimaksud di sini, memang pada akhirnya adalah wacana  identifikatif dalam dunia dan kehidupan bangsa yang belakangan memang silang-sengkirut karena ketidakpastian eksistensi, tindihan hidup yang memberat, dan kerancuan atau kegamangan menghadapi perubahan zaman yang begitu tinggi percepatannya. Satu kesemrawutan yang pada mulanya menciptakan dislokasi dan disorientasi, dan pada akhirnya melenyapkan integritas para pemuka (elit)nya, juga publik pada umumnya.
     Integritas dalam sastra menjadi begitu vital dan kritis saat ini, lantaran kelangkaan hal itu membuat sastra invalid dalam memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan bangsa ini, dalam kompetensi dunia yang semakin keras dan ketat. Adanya integritas sastra, yang berdampak pada kemampuan dan kekuatan bahasa serta dunia simbol kita, tentu saja akan sangat membantu mempertegas dan konsistensi langkah kemajuan dari setiap elemen negeri ini.
     Semua mungkin dimulai dari tingkat pribadi. Integritas personal baik dalam kalangan sastra itu sendiri maupun di luarnya, harus kita titi dengan kesungguhan, ketekunan, stamina fisik dan mental yang sumber-sumbernya dapat digali dari khasanah adat dan tradisi kita yang padat dan kaya. Dan lebih penting dari itu, ia mesti segera dimulai. Sehingga pertanyaannya pun jadi lebih praktis dan konkrit; oleh siapa? Siapa lagi jika buka dua kata penunjuk subyek ini: aku dan kau.    
Previous
Next Post »